Aku pernah mengenangmu seperti hujan..
Berharap pada angin agar membawamu datang. Menerka awan kapan ia menghitam. Mempercayai mendung ketika ia menggumpal.
Seperti hujan aku menikmatimu. Memelukmu sambil menari dan menjamahmu hingga basah. Ketika habis, kau tahu aku akan kembali menunggu.
Kini aku akan tetap mengenangmu. Tetapi mengeja namamu sebagai Han.
Meniggalkanmu berlalu bersama kalimatmu yang berisi ragu. Tidak akan menuggumu seperti aku menuggu hujan.
Langitbumi
Minggu, 21 November 2010
Jumat, 19 November 2010
Bungaku
Bungaku bunga liar, bukan melati yang ditanam pada tanah yang subur, ia tumbuh pada bumi yang disemen aspal. Bungaku memang liar, bukan dafodil yang mekar ketika pagi dan layu kala senja, ia tersenyum saja entah siang atau malam. Bungaku bunga liar, tetap mengakar berangkulan bersama rumput dan ilalang.
Ketika kemarau, bungaku berwarna merah dan menjadi biru ketika hujan. Ia tidak butuh kumbang untuk datang dan kupu-kupu untuk mencumbu. Ia hanya butuh angin yang sesekali membuatnya menari. Karena bungaku bunga liar, ia tidak harum. Karena bungaku bunga liar, ia tidak cantik. Dan karena bungaku bunga liar ia hanya hidup, berikan rasa yang berbeda diantara rumput.
Bungaku yang liar suka berdendang. Menyanyikan lagu-lagu tentang awan, atau sesekali tentang purnama dan klelawar. Pernah juga bernyanyi tentang belati, namun suaranya sumbang sehingga ia berhenti.
Dan pada suatu sore, bunga yang liar tertunduk layu. Pada kelopaknya berbekas tapak sepatu. Batangnya patah, daunnya jatuh. Namun ketika pagi, bersama mentari ia tumbuh lagi. Bungaku memang liar, ia tak akan mati.
Aku suka bungaku, selalu tersipu ketika kubilang “Embun membasahimu”. Suka saja. Bungaku. Bunga liar. Bunga trotoar.
Dosa
Ada sebuah dosa yang kunikmati, seperti bermandi lumpur di kala hujan ketika kita masih kecil. Menari begitu saja, dalam hangat dan keringat, basah dan lekat, juga kotor dan gigil. Ada dosa yang selalu terbayang, muncul dengan sorai dan tawa, dengan mata yang menatap bahagia, dengan senyum yang mengisyaratkan kedamaian.
Ilahi, aku takut dan bahagia. Takut jika peringatan-Mu tak hadir segera dan aku mati membusuk dalam neraka. Ilahi aku bahagia, masih mengingat nama-Mu ketika dosa itu ku ukir menjadi sempurna. Dalam kedamaian yang seperti sedang bersama-Mu, seperti ada suara yang berkata bahwa ini adalah hadiah untukku dari-Mu.
Aku ingin menyesal memahami bahwa ada dosa yang masih melekat. Namun tidak ada, tidak ada, tidak ada rasa salah dalam jiwa dimana seharusnya lumpur itu masih tersisa. Ilahi, aku takut akan peringatan-Mu namun bagaimana aku bisa takut jika yang ada hanyalah rasa bahagia?
Ada sebuah dosa yang diam-diam kunikmati. Seperti ketika kita mecoba mencuri kue manis dalam tudung di atas meja. Merasakan lezatnya yang hanya secuil dan masih mampu menahan diri untuk melahapnya semua karena kita tahu, kue yang dibagikan sepotong tidak akan serasa lebih nikmat dari yang kita curi secuil.
Ada rasa bahagia ketika ia meleleh di lidah kita dan manisnya berubah menjadi getaran semu ke otak kita. Ada perasaan aman karena kita mampu menahan diri ketika kita mampu melahap semuanya. Ada persaan tak peduli karena kue diatas meja itu pun sudah tercuil sebelumnya. Namun ada perasaan bersalah, bukan karena kue yang tercuil, tapi karena manis yang kini telah menjalar dalam darah.
Ilahi, timbulkan rasa salah. Timbulkan salah itu. Biar kurasakan, biar dapat aku sesali, dalam tangis yang juga basah dan lekat.
Langganan:
Komentar (Atom)