Bungaku bunga liar, bukan melati yang ditanam pada tanah yang subur, ia tumbuh pada bumi yang disemen aspal. Bungaku memang liar, bukan dafodil yang mekar ketika pagi dan layu kala senja, ia tersenyum saja entah siang atau malam. Bungaku bunga liar, tetap mengakar berangkulan bersama rumput dan ilalang.
Ketika kemarau, bungaku berwarna merah dan menjadi biru ketika hujan. Ia tidak butuh kumbang untuk datang dan kupu-kupu untuk mencumbu. Ia hanya butuh angin yang sesekali membuatnya menari. Karena bungaku bunga liar, ia tidak harum. Karena bungaku bunga liar, ia tidak cantik. Dan karena bungaku bunga liar ia hanya hidup, berikan rasa yang berbeda diantara rumput.
Bungaku yang liar suka berdendang. Menyanyikan lagu-lagu tentang awan, atau sesekali tentang purnama dan klelawar. Pernah juga bernyanyi tentang belati, namun suaranya sumbang sehingga ia berhenti.
Dan pada suatu sore, bunga yang liar tertunduk layu. Pada kelopaknya berbekas tapak sepatu. Batangnya patah, daunnya jatuh. Namun ketika pagi, bersama mentari ia tumbuh lagi. Bungaku memang liar, ia tak akan mati.
Aku suka bungaku, selalu tersipu ketika kubilang “Embun membasahimu”. Suka saja. Bungaku. Bunga liar. Bunga trotoar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar